Nurwa, Bisa Kita Cerita Lagi Nanti?
Aku suka melihat sungai yang surut. Apalagi kalau mulai muncul pasir putih. Dari pagi sungai itu ramai perahu dan ranting hilir mudik. Sungai tersebut tepat berada di belakang rumah Nurwa.
Sore itu, Nurwa sedang mempersiapkan peralatan jahitnya.
Seperti biasa, dia selalu memintaku memasukkan benang ke dalam jarum jahitnya. Matanya rabun. Meski sudah memakai kacamata, penglihatannya masih belum sempurna.
Dia orang yang selalu menjadi sasaran pertanyaan konyolku. Tentang apa asal-usul desa ini, tentang kenapa dia bisa bersama Opar, atau apa yang menjadi makanan favoritnya ketika kecil.
Aku suka bertanya padanya. Karna dia bisa menjawab pertanyaan bodohku yang tidak kutemukan jawabannya pada orang lain.
Sesekali suara pelepah kelapa yang diterpa angin semakin menambah hangat perbincanganku dan Nurwa.
Pagi Januari 2021 lalu, aku sempat memeluk dan mencium keningnya.
Ku pegang tangannya. Cincin kesayangannya masih melingkar di jari yang terlihat jelas urat-urat di kulitnya.
Aku tidak mengerti, dia tak berhenti menangis, bahkan sampai tersedu-sedu.
Melihatnya begitu, aku terbawa suasana. Mataku sontak terasa bak awan hitam yang siap membuat sungai meluap.
Aku sering izin pamit meninggalkannya. Tapi kali ini Nurwa tidak seperti biasa.
____
Malam ini aku mendengarkan kisah masa kecil saudara menantu Nurwa, tentang ia yang dulu nakal di sekolah, main perosotan di sungai, makan buah yang jarang ditemukan sekarang. Katanya indah sekali masa kecil.
___
Aku jadi teringat Nurwa lagi. Aku baru sadar sekarang. Ternyata pada Januari itu bukan aku yang pamit. Tapi...
Nurwa bisa kita cerita lagi nanti?
Ketika aku pulang, dan kita ketemu di sana, bersama kakek juga ya.
Lebaran pertamamu di sana bagaimana?
Jawab dalam mimpiku saja malam ini.
Bekasi, 13 Mei 2021, 23.30 WIB
Mayang Sari
Comments